Pergerakankebangsaan di Filipina meletus dalam bentuk pemberontakan katipunan terhadap kekuasaan Spanyol sejak tahun 1896 yang dipinpin oleh Jose Rizal, namun pemberontakan itu gagal.Andres Banifacio kemudian memimpin gerakan rahasia, yaitu Liga Filipina. Mengakibatkan Jose Rizal ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 30 Desember 1896. . Kematian Jose Rizal menimbulkan kemarahan Perang Diponegoro atau dikenal juga dengan nama Perang Jawa terjadi pada tahun 1825 hingga 1830. Perang ini antara lain dipicu oleh konflik dan huru-hara yang terjadi di Yogyakarta, intervensi pemerintah Hindia-Belanda dalam urusan rumah tangga keraton dan penindasan yang dilakukan terhadap rakyat pribumi. Perang ini merupakan bentuk perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Selain mengakibatkan diasingkannya Pangeran Diponegoro ke Makassar hingga akhir hayatnya, perang ini juga berdampak renggangnya hubungan keturunan Diponegoro dengan Keraton Yogyakarta. Meski pihak pribumi mengalami kekalahan, perang ini telah membawa kerugian yang besar bagi pemerintah Hindia-Belanda. Penyebab Perang Diponegoro1. Wahyu Perang2. Pajak dan Gerbang Cukai3. Persekutuan di Antara Keluarga Keraton dan Campur Tangan Belanda4. Kacaunya Kehidupan Masyarakat Yogyakarta5. Dibuatnya Jalan di Atas Makam Leluhur Pangeran Diponegoro6. Terbakarnya TegalrejoKronologiPersiapan Menuju Perang1. Markas Perang di Selarong2. Jenis-Jenis Pasukan3. Kebutuhan Logistik4. Strategi dan TaktikPecah Perang Jawa1. Perang Gerilya Selama Lima Tahun2. Peta3. Terdesaknya BelandaAkhir dari Perang Diponegoro1. Terkikisnya Pasukan Diponegoro2. Penangkapan Pangeran DiponegoroTokoh-Tokoh yang TerlibatDampak1. Berhentinya Perjuangan Rakyat Yogyakarta2. Renggangnya Hubungan Keturunan Diponegoro dengan Keraton Yogyakarta3. Sinofobia oleh Masyarakat Yogyakarta4. Terkurasnya Tenaga Belanda5. Inspirasi Perjuangan di Kemudian Hari 1. Wahyu Perang Patung Pangeran Diponegoro di Goa Selarong. Sumber Mari kita mengulas sekilas tentang Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Sultan Hamengkubuwono III dari pernikahan dengan selir Raden Ajeng Mangkarawati dengan nama kecil Raden Mas Antawirya atau Ontowiryo. Ia dirawat oleh nenek buyutnya, Nyi Ratu Ageng, di pemukiman bernama Tegalrejo, Yogyakarta. Kakek buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, bermimpi suatu saat kelak Ontowiryo akan membawa kekacauan bagi Belanda dan mempertahankan Jawa namun berhasil atau tidaknya tergantung kehendak Tuhan. Beranjak remaja, sang pangeran tumbuh menjadi seseorang yang sangat antusias dengan Agama Islam dan justru bosan dengan kehidupan keraton. Pangeran Ontowiryo melakukan perjalanan spiritual mencari guru agama dan akhirnya tiba di daerah Kasongan, Yogyakarta. Dekat dengan daerah itu, terdapat sebuah gua yang dinamakan Gua Selarong dan beliau menginap di sana. Ketika terlelap tidur, sang pangeran bermimpi bertemu dengan Ratu Adil ratu alam ghaib dan beliau diberi tahu bahwa dalam tiga tahun ke depan Jawa akan rusak serta ayahnya Sultan Hamengkubuwono III akan menjadi raja yang otomatis beliau akan dinobatkan menjadi putra mahkota. Wahyu selanjutnya diterima beberapa tahun kemudian mendekati perang. Isinya pun merupakan anjuran serta perintah untuk berperang, mempertahankan Jawa, menegakkan syariat agama, dan membebaskan rakyat dari kesengsaraan. 2. Pajak dan Gerbang Cukai Wahyu perang tersebut merupakan penanda atau isyarat awal untuk melawan Belanda. Namun, karena hanya dirasakan oleh sang pangeran, harus ada juga bukti riil yang menjadi penyebab mengapa Diponegoro harus berperang. Nampaknya wahyu yang diterimanya menjadi kenyataan sedikit demi sedikit. Pasalnya, Residen Belanda di Yogyakarta dan Surakarta, Nahuys van Burgest, diceritakan sebagai seseorang yang rakus dan ambisius. Yogyakarta yang sudah berkembang pesat ekonominya berkat ayahanda Diponegoro dimanfaatkan oleh Nahuys untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Nahuys membuat kebijakan baru yaitu membangun gerbang-gerbang cukai, kebijakan penyewaan lahan, dan monopoli narkoba. Akibat kebijakan-kebijakan tersebut semua pihak dirugikan kecuali pejabat-pejabat yang korupsi. Dengan adanya gerbang-gerbang cukai baru, para pedagang dari berbagai tempat yang ingin ke Yogyakarta harus membayar di tiap gerbang yang membuat harga barang semakin naik dan terjadi inflasi besar-besaran. Kebijakan penyewaan lahan membuat pajak tanah semakin tinggi dan menguntungkan yang memiliki tanah karena mendapat uang dan merugikan yang menyewanya, yaitu petani dan buruh karena pajak sewa semakin besar. Narkoba diedarkan kepada publik dan dikuasai oleh Belanda sehingga hanya dapat dibeli dari Belanda. 3. Persekutuan di Antara Keluarga Keraton dan Campur Tangan Belanda Konflik internal juga terjadi di kalangan keluarga keraton. Setelah wafatnya Sultan Hamengkubuwono III dan Hamengkubuwono IV, yang diangkat menjadi sultan bukanlah Pangeran Diponegoro yang jelas anak pertama Sultan Hamengkubuwono III meski dari selir, bukan permaisuri atau istri pertama. Malah justru Sultan Hamengkubuwono V yang diangkat padahal masih berusia tiga tahun. Hal ini untuk mencegah Pangeran Diponegoro untuk melawan Belanda. Namun, sang pangeran tetap diberi jabatan di keraton, yaitu diangkat menjadi Wali Sultan bersama Pangeran Mangkubumi untuk menjalankan pemerintahan. Selama menjabat, Pangeran Diponegoro tidak diam saja dan berusaha untuk menghapuskan kebijakan pajak tanah. Negosiasi berhasil, akan tetapi dengan syarat bahwa pengusaha penyewa lahan diwajibkan mengembalikan lahan sewaannya pada pemilik dan pemilik lahan harus membayar uang ganti sewa. Karena uang ganti sewa sangat mahal jika tidak sanggup maka dapat diangsur atau pilihan kedua dapat dibebankan kepada negara untuk nantinya dibayar secara berangsur. Patih Danurejo dan Ratu Ibu atau Permaisuri Sultan Hamengkubuwono II memilih pilihan dua tanpa sepengetahuan Pangeran Diponegoro. Timbul ketegangan di antara keluarga kerajaan akibat itu. Ditambah lagi kehadiran Belanda yang mencampuri urusan rumah tangga pemerintahan Yogyakarta membuat keadaan lebih buruk. 4. Kacaunya Kehidupan Masyarakat Yogyakarta Perempuan dipaksa untuk menjadi penari ronggeng untuk menghibur Belanda. Sumber Buku Kuasa Ramalan oleh Peter Carey 2012 Pajak, gerbang cukai, dan uang ganti sewa yang gila-gilaan membuat rakyat menderita secara ekonomi. Kondisi semakin diperparah dengan ditawarkannya narkoba yang membuat masyarakat candu. Para wanita juga dipaksa untuk menjadi penari ronggeng dan bertugas untuk menghibur serta melayani Belanda, tamu-tamu asing atau orang kaya untuk berseks. Syariat agama baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, maupun Konghucu juga tidak ditegakkan oleh pemerintah. Dan ini mulai menyulut emosi sang pangeran. 5. Dibuatnya Jalan di Atas Makam Leluhur Pangeran Diponegoro Kita baru memasuki alasan populer mengapa terjadinya Perang Diponegoro, yaitu dibuatnya jalan raya dan jalur kereta api melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Rencana awalnya, jalan dan jalur tersebut tidak melewati Tegalrejo, namun pemerintah Hindia Belanda sengaja melewatinya untuk memantik amarah Pangeran Diponegoro. Patok-patok mulai ditancapkan di tanah-tanah, menandakan jalan akan segera dibuat. Begitu ia melihat patok-patok tersebut, ia langsung memerintahkan masyarakat untuk mencabutnya dan menggantinya dengan tombak sebagai isyarat perang. 6. Terbakarnya Tegalrejo Lukisan Diponegoro dengan kudanya Gentayu yang sedang melarikan diri menembus api, tersimpan di Istana Negara. Sumber Suatu malam sebelum perang pecah, Belanda mengutus dua bupati untuk menculik Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi. Mereka membakar pula kediaman Pangeran Diponegoro beserta perkampungan di Tegalrejo. Nasib beruntung masih di tangan Pangeran Diponegoro karena ia berhasil melarikan diri bersama sebagian besar pengikutnya menuju barat, tepatnya ke Gua Selarong, Bantul. Di sana ia beserta pasukannya menyiapkan perang melawan penjajahan. Kronologi Persiapan Menuju Perang 1. Markas Perang di Selarong Ilustrasi wilayah Selarong pada masa pemerintahan Diponegoro. Sumber Buku Kuasa Ramalan oleh Peter Carey 2012 Pangeran Diponegoro dan pasukan kecilnya mendirikan markas di Selarong dan sekitar guanya. Jumlah pasukannya semakin bertambah mendengar kabar kehebatannya lolos dari jeratan Belanda di Tegalrejo. Dari yang awalnya hanya berapa ratus orang hingga ribuan orang mendatangi Selarong. Belanda tidak begitu curiga karena ketika bertanya ingin ke mana, mereka menjawab latihan jatilan atau kesenian Jawa. 2. Jenis-Jenis Pasukan Dalam buku Kuasa Ramalan juga menjelaskan tentang jenis-jenis pasukan Diponegoro yang unik. Ia menamai pasukannya seperti pasukan atau organisasi Turki Usmani seperti Asseran, Barjumuah, Bulkiyah, Harkiya, Larban, Pinilih, Surapadah, dan Turkiyah. Semua memiliki warna pakaian masing-masing, ada yang coklat, hijau tua, putih, hitam, merah gelap, dan lain-lain. Para panglima perangnya juga dinamai dengan unik. Komandan tertinggi atau komandan divisi dijuluki alibasah, kalau komandan brigade itu basah, komandan batalion itu dulah, dan seh atau setingkat dengan komandan kompi. Laskar prajuritnya mencukur tipis rambutnya bahkan sampai gundul dan mengenakan sorban serta jubah seperti khilafah. Hal ini yang membuat sulitnya mencari Pangeran Diponegoro karena pakaiannya serupa dari prajurit biasa sampai atasannya. Pangeran Diponegoro juga merekrut siapapun dari golongan atau kaum manapun. Dari petani, bangsawan, bahkan perampok pun diajak untuk bergabung untuk membebaskan tanah Jawa dari Belanda. 3. Kebutuhan Logistik Perang tidak dapat dimenangkan tanpa kelengkapan logistiknya, terutama senjata. Pangeran Diponegoro menggunakan beragam senjata seperti meriam, senapan, tombak untuk pasukan berkuda, golok, pedang, tameng, bahkan senjata tradisional seperti bandil, ketapel, keris Jawa, dan lain-lain. Bangunan logistik dan kilang mesiu dibuat di berbagai wilayah untuk memudahkan akomodasi logistik. Biasanya dibangun di tengah hutan atau di ngarai atau jurang untuk menyembunyikannya dari musuh agar tidak dihancurkan. 4. Strategi dan Taktik Markas sekaligus tempat menyusun strategi Pangeran Diponegoro berada di Selarong, Bantul. Sumber Strategi yang digunakan Pangeran Diponegoro dalam berperang banyak mengandalkan kekuatan alam. Alasannya karena tidak perlu mengeluarkan biaya dan tenaga jika memanfaatkan alam. Hujan adalah senjata utama Pangeran bersorban ini. Ia memusatkan serangannya pada musim hujan karena tanah tidak kondusif untuk berperang bagi Belanda yang jarang diterpa hujan di wilayahnya. Selain itu, musim hujan membawa penyakit sehingga saat musim hujan pasukan Belanda banyak yang jatuh sakit. Biasanya pasukan menyerbu saat malam hari ketika prajurit musuh sudah letih terlelap tidur dan gelap gulita membuat mereka susah dilacak, sedangkan siang hari digunakan untuk mempertahankan wilayah karena terang dan jarak pandang jauh. Kalau dari sisi Belanda, mereka menggunakan siasat benteng, yaitu mengepung musuh dan membuat mereka terjepit. Penyerangan dilakukan pada siang hari karena sinar matahari menyinari jalan yang mereka belum begitu kenali. Pecah Perang Jawa 1. Perang Gerilya Selama Lima Tahun Perang Jawa pecah pada tahun 1825 dan berlangsung selama lima tahun. Dengan strategi dan taktik masing-masing sisi dilancarkan perang pun dimulai. Siang hari Belanda dapat menguasai benteng dan memukul mundur Pasukan Diponegoro. Dan sebaliknya, saat malam hari Diponegoro dapat mengambil kembali wilayahnya. 2. Peta Peta Perang Jawa yang dibuat Belanda. Sumber Buku Kuasa Ramalan oleh Peter Carey 2012. Berikut adalah peta Perang Jawa dari sergapan kilat 1826 sampai fase akhir perang 1830 yang dibuat oleh Belanda. Wilayahnya cukup luas hampir mencakup sebagian besar Pulau Jawa, dari Jawa Tengah, Yogyakarta, sampai Jawa Timur. 3. Terdesaknya Belanda Karena perang yang dilakukan Diponegoro adalah perang gerilya, ini membuat Belanda kewalahan menangkap Pangeran Diponegoro dan petinggi-petingginya. Ditambah lagi pakaian yang dikenakan pasukan mirip-mirip dan mereka tidak mengetahui jelas mukanya Pangeran Diponegoro. Belanda terdesak karena banyak prajuritnya yang jatuh dan kondisi keuangannya sangat tidak baik. Akhirnya, Belanda mengeluarkan jurus saktinya, yaitu kemampuan menyerang dari dalam dan politik adu domba. Dia menggalakkan sayembara, bagi siapa yang menemukan Pangeran Diponegoro hidup-hidup maka dapat kekayaan yang melimpah. Akhir dari Perang Diponegoro Raden Saleh melukiskan penangkapan Pangeran Diponegoro. Sumber Buku Kuasa Ramalan oleh Peter Carey 2014 1. Terkikisnya Pasukan Diponegoro Tergiur dengan tawaran harta, banyak prajuritnya yang berkhianat dan non-prajurit mulai berbondong-bondong mencari pangeran berkuda itu. Sedikit demi sedikit pasukannya habis karena alasan tersebut dan juga karena gugur dalam medan tempur. Pengikut setia Pangeran Diponegoro masih terus melakukan perjuangan. Naasnya, Belanda melakukan perdamaian singkat dengan pejuang Perang Padri sehingga mereka bisa menarik pasukannya di sana untuk membantu mengakhiri Perang Jawa. Belanda sukses menangkap panglima-panglima perang milik Diponegoro dan mereka dipaksa menyerah. Dengan ekstra jumlah pasukan, Belanda berhasil menyudutkan Pangeran Diponegoro di Magelang. Tak ada jalan lagi selain menyerah, demi keselamatan sisa laskarnya. 2. Penangkapan Pangeran Diponegoro Pangeran Diponegoro dengan hormat dan gagah menyerahkan dirinya kepada Belanda. Ia datang tanpa senjata dan prajurit secukupnya. Tidak diduga, perbuatan kotor dilakukan lagi oleh Belanda. Ternyata, ini adalah jebakan untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Sang pangeran kemudian dibawa ke Batavia, lalu diasingkan ke Manado, dan dipindahkan lagi ke Makassar hingga akhir hidupnya. Penangkapan Diponegoro bahkan dilukiskan oleh Raden Saleh. Dengan demikian, inilah akhir dari Perang Jawa pada tahun 1830. Tokoh-Tokoh yang Terlibat Jenderal de Kock yang berhasil menangkap Pangeran Diponegoro. Sumber Berikut adalah tokoh-tokoh yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam Perang Diponegoro. Raden Mas Antawirya atau Pangeran Diponegoro; Sultan Hamengkubuwono I, kakek buyut Pangeran Diponegoro; Sultan Hamengkubuwono III, ayah Pangeran Diponegoro; Sultan Hamengkubuwono V, keponakan tiri Pangeran Diponegoro; Nyi Ratu Ageng, istri Sultan Hamengkubuwono I dan nenek buyut Pangeran Diponegoro; Raden Ajeng Mangkarawati, selir Sultan Hamengkubuwono I dan ibu Pangeran Diponegoro; Kyai Mojo, sepupu Pangeran Diponegoro dan pemimpin spiritual dalam Perang Diponegoro; Sentot Alibasah Prawirodirjo, panglima perang Diponegoro; Jenderal de Kock, Gubernal Jenderal Hindia Belanda 1825-1826 dan Komandan KNIL sampai 1830; Nahuys van Burgest, Residen Hindia Belanda di Yogyakarta dan Surakarata; Hendrik Smissaert, Residen Yogyakarta menggantikan Nahuys; Patih Danurejo, salah satu patih tinggi di Keraton Yogyakarta; Ratu Ibu, permaisuri Sultan Hamengkubuwono II; Panglima perang dan pasukan Diponegoro; dan Pasukan Hindia Belanda; Dampak Potret penangkapan Pangeran Diponegoro. Sumber 1. Berhentinya Perjuangan Rakyat Yogyakarta Kabar ditangkapnya Diponegoro baru sampai ke prajurit-prajurit lainnya setelah dia dibawa ke Jakarta dan akan diasingkan ke Manado. Kehilangan sosok pemimpin, perjuangan mulai berhenti di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Laskar Pangeran Diponegoro juga sudah terpecah belah akibat sayembara Belanda dan taktik lainnya. Lucunya, pada akhir kejadian tidak ada yang mendapatkan hadiah karena tidak ada yang berhasil menangkap Pangeran Diponegoro. Uangnya kembali lagi ke tangan Belanda. 2. Renggangnya Hubungan Keturunan Diponegoro dengan Keraton Yogyakarta Lukisan Diponegoro saat menikahi istrinya tampak sedang mengenakan pakaian adat Jawa, kini terpajang di Keraton Yogyakarta. Sumber Buku Kuasa Ramalan oleh Peter Carey 2012 Meski keturunan keraton, Pangeran Diponegoro dianggap sebagai sosok pemberontak oleh keluarga keraton. Hal ini dikarenakan beberapa anggota kesultanan memihak pada Belanda. Setelah perang, garis keturunan Diponegoro tidak diperbolehkan masuk ke keraton. Namun, pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, mereka boleh bebas memasuki wilayah keraton. 3. Sinofobia oleh Masyarakat Yogyakarta Saat pemberontakan melawan Belanda, etnis Tionghoa dianggap aliansi dengan masyarakat Jawa. Namun lama kelamaan berubah menjadi sikap anti-Tionghoa atau sinofobia karena mereka turut memonopoli di bidang ekonomi. Ketika rakyat tidak mampu membayar uang sewa atau ganti rugi, mereka meminjam pada rentenir Tionghoa, tapi malah terjerumus hutang. Selain itu, usaha-usaha dagang, kayu, dan sumber daya alam lainnya banyak yang jatuh ke tangan pengusaha Tionghoa. Dikatakan Pangeran Diponegoro juga dilarang oleh Mangkubumi untuk menjalin relasi politik yang serius dengan mereka. Alhasil, penyerangan etnis Tionghoa pun terjadi di Yogyakarta. Pada 1827, banyak dari mereka yang mengungsi ke Wonosobo. Sekarang, semua etnis dapat hidup damai di Yogyakarta dengan kesempatan yang sama. 4. Terkurasnya Tenaga Belanda Kerugian dari sisi Belanda jauh lebih besar dibandingkan kerugian yang dialami pasukan pribumi. Jumlah pasukan yang jatuh diperkirakan lebih dari sedangkan dari Pangeran Diponegoro sekitar Selain itu, keuangan Belanda terkuras akibat mendanai Perang Jawa. Kala itu warga Yogyakarta berkurang drastis jumlahnya. 5. Inspirasi Perjuangan di Kemudian Hari Meski kalah, pasukan Jawa berhasil memukul mundur Belanda dari sektor materi sampai moral. Toleransi juga berkembang dengan adanya Perang Jawa, walaupun belum diimplementasikan dengan maksimal. Yang jelas, Perang Diponegoro menjadi pemantik bagi pejuang-pejuang selanjutnya yang bercita-cita untuk memerdekakan ibu pertiwi. Sekian cerita seputar Perang Diponegoro tahun 1825 sampai 1830. Jika ingin mengetahui perang-perang nusantara lainnya, bisa diakses di Selasar. Belumgenap 1 (satu) tahun, masih dalam masa-masa konsolidasi dan penyesuaian diri, meletuslah peristiwa kerusuhan Mei 1998. Sebuah tragedi nasional yang mempengaruhi sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Keganjilan mulai terjadi setelah semua makan dan minum sekenyangnya, tidak lebih dari satu jam anggota tertidur semua kecuali Sunhadi Hai Nabila, Kakak bantu jawab ya ! Puncak kemarahan Diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah Belanda membuat jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro Opsi C. Perhatikan pembahasan berikut ini ya ! Perang Diponegoro atau Perang Jawa terjadi pada tahun 1825-1830. Perang Diponegoro merupakan salah satu perlawanan terbesar yang dilakukan bangsa Indonesia terhadap Belanda. Pangeran Diponegoro dibantu beberapa tokoh antara lain Sentot Alibasya Prawirodirjo, Pangeran Mangkubumi dan Kiai Mojo. Diponegoro menerapkan taktik strategi perang gerilya, yang kemudian dihadapi Belanda dengan menerapkan taktik benteng stelsel. Adapun sebab umum dari Perang Diponegoro antara lain 1. Daerah kekuasaan Kesultanan Mataram semakin sempit. 2. Para bangsawan penghasilannya dikurangi. 3. Penderitaan akibat penjajahan. 4. Belanda ikut campur dalam urusan intern Kesultanan Mataram. 5. Pengaruh negatif kehidupan Barat masuk ke dalam kehidupan istana. 6. Pajak yang tinggi bagi rakyat. Sedangkan sebab khusus dari Perang Diponegoro adalah rencana pembuatan jalan yang melintasi tanah makam leluhur Pangeran Diponegoro tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada Pangeran Diponegoro. Provokasi yang dilakukan penguasa Belanda seperti merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran Diponegoro dan membongkar makam keramatlah yang membuat Pangeran Diponegoro sangat marah. Jadi, jawaban yang tepat opsi C ya ! Semoga bermanfaat ! Puncakkemarahan pangeran Diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah a. Belanda ikut campur tangan dalam semua urusan politik di kerajaan Mataram b. Belanda membuat jalan tembus Yogyakarta-Magelang yang melewati makam leluhur pangeran Diponegoro c. Masuknya adat Barat kedalam lingkungan keraton d. Februari 5, 2020 Soal IPS Terpadu Puncak kemarahan Diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah …. A. berlakunya pajak baru yang memberatkan rakyat B. masuknya adat barat ke dalam lingkungan kraton C. Belanda membuat jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro D. Belanda ikut campur tangan dalam semua urusan politik di kerajaan Mataram Pembahasan Sebab khusus yang meledakkan perang Diponegoro ialah provokasi yang dilakukan penguasa Belanda merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran Diponegoro dan membongkar makam keramat. Sebagai protes patok-patok tanda dari tongkat kayu pendek untuk pembuatan jalan dicabut dan diganti dengan tombak-tombak. Jadi Puncak kemarahan Diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah …. C. Belanda membuat jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro About The Author doni setyawan Mari berlomba lomba dalam kebaikan. Semoga isi dari blog ini membawa manfaat bagi para pengunjung blog. Terimakasih PerangDiponegoro (1825-1830) Latar Belakang dan sebab-sebab umum Perang Jawa sebenarnya disebabkan oleh ketidaksukaan para bangsawan kraton Yogyakarta terhadap campur tangan Belanda dalam negeri Yogyakarta yang kemudian meluas menjadi perlawanan rakyat. Mirip dengan Revolusi Amerika yang digerakkan oleh para tuan tanah dan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat yang kemudian Salah satu perlawanan rakyat terbesar di Pulau Jawa pada masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda adalah Perang Diponegoro. Kalau penasaran bagaimana sejarah kronologi Perang Diponegoro, kamu bisa menyimak selengkapnya di sini, ya!Belanda merupakan bangsa penjajah yang pernah menduduki Indonesia selama ratusan tahun. Dalam masa pendudukannya itu, tentu saja terjadi perlawanan rakyat di berbagai daerah. Salah satunya adalah Perang Diponegoro yang sejarah kronologi lengkapnya dapat kamu temukan di artikel yang juga disebut Perang Jawa tersebut berlangsung selama lima tahun, yaitu mulai dari tahun 1825 hingga 1830. Menurut catatan, ini adalah perang paling besar yang pernah dihadapi oleh Belanda, bagaimana kronologi sejarah Perang Diponegoro dan apakah peristiwa itu dapat mengusir Belanda dari Pulau Jawa? Kalau penasaran, kamu bisa menemukan jawabannya di bawah ini! Langsung saja dibaca, yuk!Sekilas tentang Pangeran Diponegoro Pangeran DiponegoroSumber Wikimedia Commons Sebelum membahas lebih lanjut mengenai kronologi sejarah Perang Diponegoro, tidak ada salahnya untuk mengenal sosok tersebut terlebih dahulu. Pangeran Diponegoro merupakan seorang bangsawan dari Keraton Yogyakarta. Ia adalah anak dari Sultan Hamengkubuwana III. Sementara itu, ibunya adalah seorang selir yang bernama Raden Ajeng Mangkarawati. Ketika lahir, laki-laki berdarah biru tersebut memiliki nama Bendara Raden Mas Antawirya. Ia juga memiliki nama Islam, yaitu Abdul Hamid. Semenjak kecil, sang pengeran memang dikenal sebagai pribadi yang baik, ramah, dan suka belajar. Ia juga pandai bergaul dan bisa berbaur dengan rakyat. Setelah beranjak dewasa, ayahnya menginginkannya untuk naik tahta. Namun, ia menolak karena merasa tidak berhak menduduki jabatan tersebut mengingat ibunya bukanlah seorang permaisuri. Selain itu, sang pangeran sebenarnya lebih tertarik dengan masalah keagamaan daripada urusan pemerintahan. Namun kemudian pada tahun 1822, ia diangkat sebagai salah satu wali dari Sultan Hamengkubuwana V. Sang sultan pada waktu itu dinobatkan menjadi raja di usia yang masih belia. Maka dari itu, mau tak mau ia pun mulai menaruh perhatian pada urusan keraton. Semasa hidup, Pangeran Diponegoro menikah sebanyak sembilan kali. Dari pernikahan-pernikahannya, ia mendapatkan 5 orang putri dan 12 putra. Latar Belakang Terjadinya Perang Diponegoro Benih-benih permusuhan antara pihak Keraton Yogyakarta dengan Belanda sudah mulai ada sejak sekitar tahun 1808. Peristiwanya bermula dari Daendels yang ditugaskan oleh pemerintah kolonial untuk menyiapkan Pulau Jawa sebagai pusat pertahanan melawan Inggris. Namun, ia malah menyalahgunakan kekuasaan dan berlaku semena-mena terhadap Keraton Yogyakarta. Dengan lancangnya, ia menyuruh pihak keraton untuk mengubah tata upacara yang sudah turun temurun dilakukan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu juga memaksa keraton memberikan bantuan berupa sumber daya alam maupun tenaga prajurit. Hingga kemudian, terjadilah pemberontakan Raden Ronggo karena kelancangannya melakukan perdagangan kayu jati di daerah timur Jogja. Pemberontakan tersebut memang gagal. Akan tetapi, Belanda tetap memaksa Sultan Hamengkubuwana II untuk membayar ganti rugi. Pada tahun 1811, Inggris dapat mengalahkan pasukan Belanda dan kemudian menguasai Pulau Jawa. Kekuasaan Belanda pun terhenti sementara dan digantikan oleh Inggris. Baca juga Benda-Benda Bersejarah Peninggalan Kerajaan Majapahit Kembalinya Pengaruh Belanda Kemudian pada tahun 1822, Belanda berhasil merebut Hindia Belanda kembali dan turut ikut campur masalah keraton. Hal itu bermula dari meninggalnya Sultan Hamengkubuwana IV secara mendadak. Setelah itu, sang permaisuri malah meminta bantuan pada Belanda untuk menobatkan putranya menjadi Hamengkubuwana V. Pada waktu itu, sang calon raja masih berusia balita. Campur tangan tersebut tentu saja tidak disukai oleh para bangsawan kraton yang lain. Seperti yang sudah kamu baca di atas, Pangeran Diponegoro diangkat menjadi salah satu wali yang mendampingi Sultan Hamengkubuwana V. Akan tetapi, posisinya tidak dianggap dan Belanda mendominasi semua pengambilan keputusan. Peristiwa sejarah besar lainnya yang menjadi salah satu pemantik meletusnya Perang Diponegoro adalah masalah sewa tanah disalahgunakan oleh warga bangsa asing. Melihat hal tersebut, van der Capellen kemudian membuat dekrit yang isinya orang-orang Eropa dan Tionghoa harus mengembalikan tanah yang disewa kepada pemiliknya. Dengan catatan, sang pemilik tanah harus memberikan kompensasi. Kebijakan tersebut membuat banyak pihak kelimpungan, termasuk Keraton Yogyakarta. Pasalnya, pihak keraton banyak menyewakan tanah sehingga harus memberikan kompensasi yang sangat besar. Bahkan, Pangeran Diponegoro harus mencari pinjaman uang untuk melunasinya. Permasalahan semakin memanas ketika ibu tiri sang pangeran rupanya lebih memihak pada Belanda. Hal itu kemudian membuatnya memutuskan hubungan dengan keraton. Sejarah Awal Mula Meletusnya Perang Diponegoro Sumber Wikimedia Commons Menurut catatan sejarah, puncak masalah yang membuat Pangeran Diponegoro mengobarkan perang terhadap Belanda adalah kelancangan Belanda memasang patok-patok jalan di tanah miliknya yang berada di Tegalrejo. Pada waktu itu, pemerintah Hinda Belanda memang sedang mencanangkan pembangunan jalan raya. Hal tersebut berarti akan dibangun jalan yang melewati perkebunannya. Laki-laki keturunan bangsawan itu tentu saja sangat marah. Pasalnya, ia bukan hanya kehilangan kebun yang telah dirawatnya sejak lama. Akan tetapi, di sana juga terdapat makam leluhurnya. Ia tentu saja tidak rela jika terjadi sesuatu terhadap area pemakaman tersebut. Sebenarnya, pemasangan patok tersebut sudah diketahui oleh patih keraton, yaitu Danureja. Hanya saja, ia tidak memberitahukan karena ditengarai memiliki dendam pribadi. Pada tanggal 17 Juni 1825, pekerja pembangun jalan datang ke kebun milik Pangeran Diponegoro dan memasang patok atas perintah Patih Danureja. Kedatangan para pekerja itu membuat para petani penggarap kebun menjadi risih sehinga kedua belah pihak terlibat percekcokan. Kejadian tersebut rupanya menarik perhatian warga sekitar yang kemudian datang untuk membantu para petani. Massa yang sangat banyak pun berkumpul di Tegalrejo. Baca juga Mengenal Sosok Kundungga, Sang Pendiri Kerajaan Kutai Mengeluarkan Ultimatum Pada awalnya, Pangeran Diponegoro sudah menyusun rencana untuk menyerang Belanda sekitar bulan Agustus 1825. Namun karena kelancangan Belanda itu, ia kemudian memutuskan untuk segera memulai pemberontakan. Sekembalinya dari pertapaan, sang pangeran kemudian menyuruh para petani untuk mengganti patok-patok jalan tersebut dengan menggunakan tombak. Lantas, melambangkan apakah tombak tersebut? Kalau dalam kamus para ksatria Jawa, itu berarti adalah sebuah tantangan untuk berperang. Setelah itu, ia memerintahkan agar anak-anak, wanita, dan kerabat untuk segera mengungsi. Ia dibekali sejumlah barang berharga selama bersembunyi ke Selarong. Menyadari keadaan yang semakin genting, Residen Belanda di Yogyakarta, yaitu Smissaert mengultimatum supaya menyerahkan diri dan datang ke keraton. Namun, ultimatum itu tentu saja tidak digubris oleh sang pangeran. Karena tidak kunjung muncul, Smissaert kemudian mengerahkan pasukan untuk menyerang Tegalrejo. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menyeret Pangeran Diponegoro supaya mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tindakan Pangeran Diponegoro Para prajurit yang berada di bawah komando Belanda itu sampai juga di Tegalrejo. Di sana, mereka sudah dihadang oleh pasukan pengikut sang pangeran. Pertemuan kedua belah pihak itu tentu saja membuat peperangan yang tidak dapat dihindari. Pada tanggal 21 Juli 1825, secara resmi menandai meletusnya Perang Diponegoro. Kedua kubu sama-sama kuat sehingga pertarungan berlangsung begitu sengit. Namun akhirnya, pasukan Belanda berhasil memukul mundur lawannya dan mengepung tempat tinggal milik Pangeran Diponegoro. Mereka kemudian tidak segan-segan untuk membakar tempat tersebut. Beruntungnya, Pangeran Diponegoro berserta sejumlah pengikutnya dapat menyelamatkan diri. Mereka lalu melewati jalan-jalan setapak supaya tidak mudah dikejar oleh pasukan lawan. Setelah melalui malam yang panjang, sampailah mereka ke Gua Selarong. Mereka kemudian disambut oleh keluarga dan para pendukungnya. Di sana, ia kembali menyusun rencana untuk mengobarkan peperangan melawan Belanda. Pertempuran tersebut dianggapnya sebagai Perang Sabil, yaitu peperangan terhadap bangsa kafir. Namun, orang kafir yang dimaksudkan di sini adalah orang-orang Belanda. Baca juga Nama Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kerajaan Sriwijaya Tokoh-Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro Sentot PrawirodirdjoSumber Wikimedia Commons Dalam beberapa sumber sejarah, Pangeran Diponegoro mengobarkan perang melawan Belanda dengan dibantu oleh beberapa pengikut setianya. Siapa sajakah mereka? Informasi singkatnya dapat disimak berikut 1. Kiai Madja Selain Pangeran Diponegoro, salah satu tokoh sejarah yang turut berperan dalam peperangan tersebut adalah Kiai Madja. Ia adalah seorang ulama besar yang berasal dari Surakarta yang kemudian diangkat menjadi panglima perang. Sang kiai adalah anak dari Mursilah yang merupakan saudara ayahnya. Maka dari itu, bisa dibilang ia dan sang pangeran masih saudara sepupu. Dukungan yang didapatkan oleh Pangeran Diponegoro dari Kiai Madja ini tentu saja sangat berarti. Pasalnya, sang kiai memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Karena inilah, ketika berperang mendapatkan banyak bantuan dari para ulama. Kira-kira sejumlah 15 syekh, 112 kiai, dan 31 haji turut mendukung perjuangan sang pangeran untuk menumpas Belanda. 2. Sentot Prawirodirdjo Tokoh lain dalam sejarah Perang Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo. Menurut silsilahnya, ia adalah keponakan dari Sultan Hamengkubuwono IV. Laki-laki tersebut masuk ke dalam lingkaran Pangeran Diponegoro untuk menggantikan Gusti Basah yang gugur saat berperang. Jabatannya pada saat itu adalah senopati atau panglima perang. Pangeran Diponegoro memercayai Sentot Prawirodirdjo karena kemampuannya yang sangat baik dalam berperang. Selain itu, ia juga pandai mengatur strategi gerilya. Selama beberapa kali bertarung, ia membuktikan kemampuannya dengan memukul mundur para pasukan penjajah asing. Julukannya adalah Napolen Jawa. 3. Para Pendamping Tak hanya para panglima, Pangeran Diponegoro juga memiliki beberapa pendamping setia atau panakawan. Salah satunya adalah Banthengwareng Keberadaannya diketahui dari Babad Dipanagara. Ia yang juga dijuluki sebagai lare bajang dikenal sebagai pendamping sang pangeran yang paling setia. Ia selalu menemani kemanapun Pangeran Diponegoro pergi. Bahkan, dirinya juga ikut ke tempat pengasingan yang terletak di Makassar. Pendamping yang lainnya adalah Joyosuroto. Ia mendampingi pangeran dari awal perjuangan hingga akhir. Sebelum menjadi pendamping, ia dulunya hanyalah seorang warga biasa yang tinggal di wilayah Tegalrejo. Setelah itu, memutuskan untuk menjadi pengikut dan pendukung Pangeran Diponegoro. Baca juga Faktor yang Dinilai Menjadi Penyebab Runtuhnya Kerajaan Kediri Strategi Perang yang Digunakan oleh Pangeran Diponegoro Sumber Wikimedia Commons Tadi kamu sudah menyimak beberapa tokoh sejarah yang juga terlibat dalam perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, kan? Nah, selanjutnya mari membahas lebih lanjut tentang jalannya perang tersebut. Dalam menghadapi Belanda, Pangeran Diponegoro menggunakan strategi perang gerilya. Untuk yang belum tahu, perang gerilya adalah sebuah perlawanan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah tempat. Biasanya terbagi dalam kelompok-kelompok kecil supaya lebih efektif untuk melumpuhkan lawan. Dengan taktik gerilya tersebut, pasukannya dapat terhindar ketika markas utama di Selarong mendapatkan serangan. Belanda pun kembali dengan tangan kosong. Selanjutnya, pemimpin perang itu membagi pasukannya menjadi beberapa batalyon, seperti Arkiya dan Turkiya. Masing-masing batalyon kemudian dibekali dengan senjata api. Setelah markas di Selarong diserbu, Pangeran Diponegoro memindahkan markasnya ke Daksa. Di sini pula, ia kemudian dinobatkan menjadi seorang kepala negara. Pusat negaranya berada di Plered. Kota ini kemudian dijaga sedemikian rupa sehingga sistem pertahannya sulit untuk ditembus oleh pihak lawan. Namun pada tanggal 9 Juni 1826, Plered mendapatkan serangan besaran-besaran dari Belanda. Beruntungnya, penyerangan itu dapat digagalkan. Tidak menyerah, bangsa penjajah itu kembali menyerang markas yang berada di Daksa. Mereka tidak menemukan seorang pun di sana. Kejadiannya menjadi senjata makan tuan karena pada akhirnya pasukan Pangeran Diponegoro berhasil membunuh mereka. Serangan Balasan Perang Jawa ini merupakan salah satu perang yang terlama dan terbesar. Maka dari itu, kronologi sejarahnya memang panjang. Selain itu, perlawanan tersebut tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja. Namun, hampir mencakup banyak kota-kota besar seperti di Kedu, Surakarta, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Magelang, Kediri, hingga Surabaya. Sekitar bulan Oktober 1826, pasukan Pangeran Diponegoro melakukan serangan balasan. Mereka menyerang markas Belanda yang ada di Gawok. Dipertarungan kali ini, pihak lawan kalah telak. Meskipun berhasil, tapi sang pangeran mengalami luka parah dan harus ditandu untuk kembali ke tempat persembunyian. Setelah itu, sempat terjadi gencatan senjata yang disetujui oleh kedua belah pihak. Namun karena pada akhirnya tidak mendapatkan kesepakatan, perang pun berkecamuk lagi. Pada bulan November tahun 1826, Pangeran Diponegoro mengerahkan pasukannya untuk menyerang tentara Belanda di Pengasih. Ia sempat mendirikan markas di Sambirata, namun kemudian mendapatkan serangan balik. Beruntungnya, pasukannya dapat meloloskan diri. Baca juga Inilah Dia Silsilah Para Raja yang Berkuasa di Kerajaan Demak Serangan Bertubi-Tubi Dalam serangan yang terus menerus itu, jangan lupakan peranan rakyat yang begitu penting. Pasukan Diponegoro mendapatkan dukungan penuh dari rakyat. Maka dari itu, strategi gerilya bisa berjalan dengan baik. Dengan bantuan rakyat, mereka bisa berpindah-pindah lebih mudah untuk berpindah-pindah markas. Selain itu, mereka juga bisa mendapatkan bantuan logistik dengan cepat. Di lain sisi, Belanda merasa frustasi dengan perlawanan di Pulau Jawa ini. Sudah banyak sekali tentara yang gugur dan dana yang dikeluarkan, tapi hasilnya masih belum terlihat. Pemerintah Belanda kemudian menarik jenderal-jenderal besarnya seperti De Kock, Hosman, dan Bisschof untuk menangani masalah di Jawa. Namun, itu juga tidak sepenuhnya berhasil. Karena selain menggunakan strategi gerilya, para senopati perang pasukan Diponegoro juga menggunakan kekuatan alam untuk melakukan penyerangan. Mereka biasanya akan gencar melawan di bulan-bulan penghujan. Hal itu dikarenakan pada keadaan tersebut, tentara Belanda akan mengalami kesulitan sehingga pergerakannya menjadi lambat. Terlebih lagi, di musim ini ada banyak penyakit-penyakit yang muncul. Secara tidak langsung, penyakit ini juga membantu untuk menghancurkan pasukan bangsa asing tersebut. Baca juga Peninggalan Bersejarah yang Membuktikan Keberadaan Kerajaan Pajajaran Strategi yang Disusun Belanda dalam Menghadapi Perang Diponegoro Jenderal de KockSumber Wikimedia Commons Pada beberapa catatan sejarah tertulis bahwa dalam Belanda merasa kewalahan dalam menghadapi Perang Diponegoro. Untuk menghambat pergerakan lawan, mereka sering kali mengajak berunding maupun gencatan senjata. Jika pihak Pangeran Diponegoro menyetujui, mereka memanfaatkan masa damai itu untuk menyebar provokator ke banyak desa. Melalui cara tersebut, pihaknya sedikit demi sedikit bisa memecah belah para pendukung sang pangeran. Selain itu, mereka juga mengirimkan mata-mata. Dengan begitu, pihak Belanda bisa mengamati gerak-gerik lawan yang sangat susah diprediksi dan kemudian menyusun rencana untuk mengalahkan mereka. Belanda memilih menggunakan cara tersebut karena dianggap lebih efektif. Usaha-usaha mereka sebelumnya yang hanya mengandalkan kekuatan dan senjata saja tidak pernah mempan. Meskipun demikian, keadaan tetap bisa diatasi. Hal itu dikarenakan masih banyak rakyat yang memihak Pangeran Diponegoro. Mempersempit Ruang Gerak Pasukan Diponegoro Setelah menyusun strategi, Belanda mengumpulkan lebih dari pasukannya untuk berjaga-jaga di daerah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1827 ini adalah puncak perang Jawa mengingat sebelumnya mereka tidak pernah mengerahkan pasukan sebanyak itu. Mereka melakukan serangan dengan menggunakan beberapa strategi. Jika sebelumnya hanya melaksanakan metode perang terbuka, kini mereka juga mengadapsi metode perang gerilya milik lawan dan juga provokasi di medan perang. Tak berhenti di situ saja, pihaknya juga membuat sayembara untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Isinya adalah siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro akan mendapatkan tanah, penghormatan, dan uang sebesar Gulden. Strategi lain yang digunakan pasukan Belanda ketika dipimpin oleh Jenderal De Kock adalah memagari benteng milik pasukan lawan menggunakan pagar kawat berduri. Hal itu dilakukan supaya bentengnya tidak diambil kembali dan lawan menjadi semakin terdesak. Sejarah mencatat bahwa strategi yang dilakukan oleh Belanda untuk meredam Perang Diponegoro itu berhasil. Sedikit demi sedikit, mereka dapat melemahkan pertahanan milik lawan. Salah satu penyebab melemahnya kekuatan pasukan Diponegoro dalam peperangan adalah ditangkapnya Kiai Modjo pada tanggal 12 Oktober 1828. Beberapa hari berselang, Sentot Prawirodirdjo juga ikut tertangkap. Penangkapan kedua senopati tersebut tentu saja membuat pilar penumpu perjuangan menjadi timpang. Selain itu, Belanda juga turut menangkap istri pangeran Diponegoro dan putranya. Baca juga Candi-Candi Peninggalan yang Menjadi Bukti Peradaban Kerajaan Singasari Melakukan Gencatan Senjata dan Negosiasi Setelah menangkap para pemimpin pasukan Pangeran Diponegoro, Belanda kemudian memberikan penawaran untuk gencatan senjata. Pada awalnya, ia teguh dengan pendiriannya untuk tidak menyerah dan terus melakukan perlawanan. Namun kemudian, sang pangeran memikirkan nasib keluarga beserta para pasukannya. Karena tidak ingin keselamatan mereka semakin terancam, ia ia luluh juga. Ia mau diajak untuk berunding dengan syarat pasukannya harus dibebaskan. Pemimpin Perang Jawa tersebut bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yaitu Jan Clareens pada tanggal 16 Febuari 1830. Perundingan memang berjalan dengan lancar. Namun sayangnya, pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan yang diharapkan. Selanjutnya, ia kemudian menemui Jenderal De Kock di Menoreh pada tanggal 21 Februari 1830. Pada waktu itu, bulan Ramadhan berlangsung dari tanggal 25 Februari hingga 27 Maret. Maka untuk menghormati bulan suci, ia pun meminta untuk tidak ada perundingan yang serius. Sang jenderal pun mengabulkan permintaan tersebut. Selain itu, ia juga memperbolehkannya untuk berkumpul bersama keluarganya yang dibuang. Laki-laki itu melunak karena berpikir bahwa kedatangan Pangeran Diponegoro ini merupakan simbol kekalahan secara de facto. Selanjutnya, ia juga mengirimkan mata-mata untuk mengamati gerak-gerik sang pangeran. Dari laporan sang mata-mata, diketahui bahwa Pangeran Diponegoro menginginkan pemerintah Hindia Belanda mengakuianya sebagai sultan pemimpin agama Islam di Jawa. Setelah mendengarkan hal tersebut, ia memerintahkan dua komandannya melakukan persiapan untuk menangkap sang pangeran. Akhir dari Perang Diponegoro Penangkapan Pangeran DiponegoroSumber Wikimedia Commons Beberapa hari kemudian, Gubernur Hindia Belanda itu menemui sang pangeran di kediamannya yang terletak di Magelang. Ia datang tepat di hari Idul Fitri yang jatuh pada tanggal 28 Maret 1830. Pada mulanya, pertemuan berjalan biasa saja. Akan tetapi, suasana menjadi panas ketika tiba-tiba sang jenderal mengatakan akan menangkap Pangeran Diponegoro. Suasananya pun semakin memanas ketika keduanya terlibat adu mulut. Meskipun ada yang menengahi, tapi itu tidak terlalu berpengaruh banyak. Bahkan, terbersit di benak sang pangeran untuk menusuk De Kock menggunakan keris. Hal tersebut terjadi karena perlakuan dan perkataan jenderal yang tidak sopan dan sangat merendahkan. Beruntung, ia masih bisa menguasai diri dan mengurungkan niatnya. Tak lama setelah itu, laki-laki bangsawan tersebut keluar dari ruangan. Nah di pintu keluar tersebut, ia kemudian di tangkap. Penangkapan Pangeran Diponegoro ini kemudian yang menandai berakhirnya Perang Jawa yang melelahkan dan penuh sejarah. Usaha selama lima tahun mengorbankan jiwa raga untuk mengusir Belanda pun terhenti pada hari itu. Setelah ditangkap, ia lalu diasingkan di Ungaran. Selanjutnya pada tanggal 5 April, ia dikirim ke Batavia dan menjalani pengasingan di Gedung Museum Fatahillah. Tidak berhenti di situ, sang pangeran bersama kelurga dan beberapa pengikutnya lalu dibuang ke Manado pada tanggal 3 Mei 1830. Empat tahun kemudian, ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar dan meninggal pada tanggal 8 Januari 1855. Baca juga Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja Penguasa Kerajaan Banten Kerugian yang Timbul Akibat Perlawanan Diponegoro Perlawanan Diponegoro ini merupakan perang terbesar dalam sejarah peperangan di Pulau jawa. Maka dari itu, kerugian yang ditimbulkan juga cukup banyak. Salah satunya yang tidak bisa disangkal adalah ratusan ribu orang menjadi korban dalam perang tersebut. Dari pihak Belanda saja sekitar orang dengan kerugian material sebanyak 25 juta gulden. Sementara itu, pribumi yang meninggal dunia kurang lebih sekitar orang. Bayangkan, betapa mengerikannya keadaan yang terjadi pada waktu itu. Bahkan, penduduk Yogyakarta saja hanya tinggal separuh dari jumlah populasi. Kerugian materi yang ditimbulkan juga tentunya tidak kalah besar jika dibandingkan dengan pihak Belanda. Selanjutnya, akibat yang satu ini paling dirasakan oleh keturunan Pangeran Diponegoro. Pasalnya, sang pangeran dianggap sebagai pemberontak sehingga keturunannya tidak bisa lagi masuk ke lingkungan keraton. Kejadian itu berlangsung selama beberapa puluh tahun. Hingga kemudian, Sultan Hamengkubuwono IX memberikan amnesti atau pengampunan untuk keturunan sang pangeran. Sehingga mereka kemudian diperbolehkan untuk ke keraton lagi. Baca juga Menilik Silsilah Kerajaan Ternate Ketika Sudah Bercorak Islam Itulah tadi ulasan lengkap tentang kronologi tentang sejarah Perang Diponegoro yang cukup panjang untuk dibaca. Semoga saja kamu tidak merasa bosan dan bisa menambah wawasanmu setelah membacanya. Di PosKata ini, kamu tidak hanya bisa membaca informasi mengenai penjajahan bangsa asing saja, lho. Kalau ingin membaca tentang sejarah kerajaan-kerajaan di nusantara juga ada. Maka dari itu, baca terus, yuk! PenulisErrisha RestyErrisha Resty, lebih suka dipanggil pakai nama depan daripada nama tengah. Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang lebih minat nulis daripada ngajar. Suka nonton drama Korea dan mendengarkan BTSpop 24/7. Surabaya- Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat m7hammadrizal Puncak kemarahan diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang Diponegoro karena pasukan Belanda memasang patok patok yang nantinya akan dibuat jalan kereta bermaanfaat. 1 votes Thanks 1 SebabKhusus Perang Diponegoro Doni Setyawan | Februari 5, 2020 Puncak kemarahan Diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah . A. berlakunya pajak baru yang memberatkan rakyat B. masuknya adat barat ke dalam lingkungan kraton C. Belanda membuat Read More 1 2 3 4 Perang Jawa atau Perang Diponegoro terjadi di Jawa Tengah dari tahun 1825 – 1830, antara Kekaisaran Belanda kolonial dan pemberontak Jawa asli. Perang dimulai sebagai pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, seorang anggota terkemuka aristokrasi Jawa yang sebelumnya bekerja sama dengan Belanda. Pasukan pemberontak mengepung Yogyakarta, sebuah langkah yang mencegah kemenangan cepat. Ini memberi Belanda waktu untuk memperkuat pasukan mereka dengan pasukan kolonial dan Eropa, memungkinkan mereka untuk mengakhiri pengepungan pada tahun 1825. Setelah kekalahan ini, para pemberontak terus berjuang dalam perang gerilya selama lima tahun. Perang berakhir dengan kemenangan Belanda, dan Pangeran Diponegoro diundang ke konferensi perdamaian. Dia dikhianati dan ditangkap. Karena biaya perang, otoritas kolonial Belanda melaksanakan reformasi besar di seluruh Hindia Belanda untuk memastikan koloni tetap menguntungkan. Penyebab langsung Perang Jawa adalah keputusan Belanda untuk membangun jalan melintasi sebidang tanah Diponegoro yang berisi makam orangtuanya. Keluhan lama merefleksikan ketegangan antara aristokrasi Jawa dan Belanda yang semakin kuat. Keluarga-keluarga bangsawan Jawa jengkel dengan hukum Belanda yang membatasi keuntungan sewa mereka. Belanda, sementara itu, tidak mau kehilangan pengaruh atas pengadilan Yogyakartan. Pengaruh Belanda juga mempengaruhi dinamika budaya Jawa. Seorang Muslim yang taat, Diponegoro terkejut dengan ketaatan beragama yang semakin santai di pengadilan. Ini termasuk meningkatnya pengaruh penjajah Belanda Kristen dan kecenderungan pengadilan pro-Belanda. Di antara pengikut Diponegoro, perang itu digambarkan sebagai jihad “baik melawan Belanda dan murtad atau orang Jawa yang murtad. Mengikuti strategi kolonial bersama, Belanda bekerja untuk memperburuk krisis suksesi bagi takhta Yogya. Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwono III, tetapi haknya untuk berhasil diperdebatkan karena ibunya bukan ratu. Saingan Diponegoro adalah adik tirinya Hamengkubuwono IV dan keponakannya yang masih bayi Hamengkubuwono V, yang didukung oleh Belanda. Pertempuran Perang Jawa dimulai 21 Juli 1825 ketika Pangeran Diponegoro menaikkan standar pemberontakan di tanah miliknya di Selarong. [2] Pasukan pemberontak berhasil pada tahap awal perang, menguasai Jawa Tengah dan mengepung Yogyakarta. Penduduk Jawa umumnya mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, karena kaum tani Jawa terkena dampak buruk dari penerapan sistem penanaman yang eksploitatif. Sistem tersebut menuntut desa untuk menanam tanaman ekspor yang dijual kepada pemerintah dengan harga tetap. Otoritas kolonial Belanda pada awalnya ragu-ragu. Namun, ketika perang berlanjut, Pangeran Diponegoro kesulitan mempertahankan pasukannya. Sebaliknya, tentara kolonial Belanda mampu mengisi barisannya dengan pasukan pribumi dari Sulawesi, dan akhirnya menerima bala bantuanpasukan Eropa dari Belanda. Komandan Belanda Jenderal de Kock mengakhiri pengepungan pemberontak di Yogyakarta pada 25 September 1825. Pangeran Diponegoro kemudian memulai perang gerilya yang luas. Sampai 1827, tentara Belanda berjuang untuk melindungi daerah pedalaman Jawa, sehingga mereka memperkuat pertahanan teritorial mereka dengan mengerahkan detasemen bergerak pasukan kolonial, yang berbasis di benteng kecil di seluruh Jawa Tengah. Diperkirakan orang tewas selama konflik, termasuk orang Belanda. Pemberontakan berakhir pada tahun 1830, setelah Pangeran Diponegoro ditipu untuk memasuki wilayah yang dikuasai Belanda di dekat Magelang, dengan dalih negosiasi untuk kemungkinan gencatan senjata. Ia ditangkap dan diasingkan ke Manado, dan kemudian ke Makassar, di mana ia meninggal pada tahun 1855. Akibat Karena kerugian besar pasukan Belanda, pemerintah kolonial memutuskan untuk mendaftarkan rekrutan Afrika di Gold Coast apa yang disebut “Belanda Hitam” “Orang Belanda Hitam”, untuk menambah pasukan India Timur dan Eropa. Perang itu merusak keuangan Belanda; dengan demikian, pengamanan Jawa memungkinkan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk mengimplementasikan Cultuurstelsel “Sistem Tanam Paksa” di Jawa tanpa oposisi lokal pada tahun 1830. Di bawah pengawasan gubernur jenderal yang baru, Johannes van den Bosch, sistem budidaya ini memerlukan bahwa 20% dari tanah desa dikhususkan untuk menanam tanaman komersial untuk ekspor pada tingkat pemerintah. Atau, petani harus bekerja di perkebunan milik pemerintah selama 60 hari dalam setahun. Penjajah Belanda dan sekutu asli mereka mengumpulkan kekayaan besar melalui sistem ekspor paksa ini. Keuntungan dari koloni lebih dari membayar Belanda untuk perang, dan membuat Hindia Belanda mandiri. Sumber Referensi J. Kathirithamby-Wells 1998. “Yang Lama dan yang Baru”. Di Mackerras, Colin ed.. Kebudayaan dan Masyarakat di Asia-Pasifik. Rutekan. hal. Peter 1976. “The Origin of the Java War 1825-30”. Ulasan Sejarah Inggris. 91 358 74 – via Ricklefs Sejarah Indonesia modern sejak 1300, hlm. Alice Volkman Sulawesi persimpangan jalan di Indonesia, Passport Books, 1990, ISBN 0844299065, halaman 73. Dipicupenembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti) pada 12 Mei 1998, meletuslah kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis dan mahasiswa pada pemerintah Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan segenap masyarakat pada 12-14 Mei 1998 menjadi momentum pergantian rezim Orde Baru pimpinan Pak Hato. Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah pemberontakan yang dilancarkan oleh masyarakat Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Perang ini merupakan kekacauan terbesar yang terjadi pada kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Berlangsung selama lima tahun 1825-1830, perang ini membuat kas pemerintah menjadi kosong ditambah kehilangan ribuan serdadu Eropa. Perang ini menewaskan kurang lebih orang baik militer maupun sipil, menjadikannya pemberontakan paling berdarah dalam sejarah Hindia Belanda. Latar Belakang Perang Diponegoro Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1822 setelah wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IV dikuasai oleh Residen Yogyakarta Hendrik Smissaert yang mencampuri urusan kekuasaan keraton. Sementara itu Gubernur Jendral van der Capellen meminta seluruh tanah sewa dikembalikan kepada pemilik dengan kompensasi tertentu. Hal ini tidak disetujui Pangeran Diponegoro karena akan membawa keraton kepada kebangkrutan atas banyaknya tanah yang dikembalikan. Namun Smissaert berhasil meyakinkan Ratu Ageng dan Patih Danuredjo selaku wali raja untuk memuluskan kebijakan tersebut. Keraton terpaksa meminjam uang dari Kapitan Tionghoa untuk membayar kompensasi tersebut. Penyebab Terjadinya Perang Diponegoro Perang Diponegoro sendiri dapat dikatakan disebabkan oleh menguatnya pengaruh Belanda di dalam keraton. Banyak diantara punggawa keraton yang memihak Belanda karena mendapatkan keuntungan-keuntungan sendiri. Pangeran Diponegoro memutuskan hubungan dengan keraton pada Oktober 1824 dan pulang ke Tegalrejo. Ia membahas mengenai kemungkinan untuk melakukan pemberontakan pada Agustus tahun selanjutnya. Pangeran Diponegoro menghapus pajak bagi petani untuk memberikan ruang pembelian makanan dan senjata. Perang akhirnya pecah ketika Smissaert, pada Mei 1825 memperbaiki jalan Yogyakarta-Magelang melalui Tegalrejo. Patok-patok jalan ini melewati makam leluhur Diponegoro, sehingga menyebabkan kemarahannya. Ia memerintahkan mengganti patok tersebut dengan tombak sebagai pernyataan perang terhadap Belanda dan Keraton Yogyakarta. Kronologi Perang Keraton Yogyakarta berusaha untuk menangkap Diponegoro untuk mencegah terjadinya perang. Pihak keraton merasa bahwa Diponegoro semakin fanatic terhadap keagamaannya. Diponegoro dirasa terlalu tenggelam dan mengabaikan hubungannya dengan keraton. Di mana ia bertugas sebagai wali raja. Kediamannya di Tegalrejo dibakar namun pangeran dapat melarikan diri. Ia berpindah ke Kulonprogo, dan kemudian ke Bantul. Mendirikan basisnya di Gua Selarong, dan berhasil mengajak berbagai elemen masyarakat untuk bergabung dalam perang suci. 15 orang pangeran bergabung dengan Diponegoro, ia juga merekrut bandit professional untuk bergabung melawan Belanda. Perjuangan ini dibantu oleh Kyai Mojo selaku pemimpin spiritual perang, dan kemudian Sentot Alibasah sebagai panglima perang. Pertempuran terjadi secara terbuka bertempat di puluhan desa. Pangeran Diponegoro menyerbu pusat-pusat kekuatan Belanda ketika musim penghujan tiba. Sementara Belanda pada musim yang sama akan mengusahakan untuk melakukan gencatan senjata. Masing-masing pihak menggunakan mata-mata, kurir, dan penjelajah untuk melihat kelemahan dan peluang untuk menyerbu musuh. Jalur-jalur logistic dan pabrik mesiu dibangun di hutan-hutan Yogyakarta. Sementara Belanda rutin melakukan penghasutan dan provokasi di kalangan masyarakat maupun milisi Diponegoro. Perang berlangsung secara stagnan sampai dengan tahun 1828, ketika Belanda di bawah Jenderal de Kock menerapkan taktik Benteng Stelsel yang berfungsi untuk menjepit pasukan Jawa. Kyai Mojo berhasil ditangkap pada tahun yang sama. Menyusul tahun 1829, Pangeran Mangkubumi dan Sentot Alibasah menyerah kepada Belanda. Pada Maret 1830, Pangeran Diponegoro yang terjepit di Magelang kemudian menyerah kepada Belanda dengan catatan anggota-anggota laskarnya dilepaskan seluruhnya. Tokoh-Tokoh 1. Pangeran Diponegoro Pangeran Diponegoro memang tidak kehilangan jabatan di keraton. Malahan ia adalah wali raja bagi Hamengkubuwono V yang masih berusia dua tahun bersama Ratu Ageng dan Patih Danuredjo. Namun kebijakan Belanda yang mencekik para petani serta membawa keraton dalam kebangkrutan, lebih dari mencampuri urusan dalam keraton. Hal ini membuat kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak baik terhadap Belanda ataupun kalangan Keraton Yogyakarta yang berdiam diri. Ia memilih memutus hubungan dengan kerajaan dan mempersiapkan perang suci melawan penindas dan kaum kafir. Ia memobilisasi pangeran, petani, bandit, dan penduduk biasa untuk membantunya mengobarkan perang yang berlangsung selama lima tahun. Pangeran DiponegoroSumber gambar flickr 2. Kyai Mojo Kyai Mojo adalah sepupu Pangeran Diponegoro yang merupakan seorang ulama. Ia membantu perjuangan Diponegoro selaku pemimpin spiritual dan panglima perang. Hubungannya memang sangatlah erat dengan Diponegoro, namun kemudian berubah pada tahun 1828. Ketika Pangeran Diponegoro menggunakan sentimen Jawa tentang Ratu Adil yang dianggap penyelamat masyarakat dari penindasan. Hal ini dianggapnya sebagai penyimpangan dari kebenaran. Kyai Mojo berhasil disergap oleh pasukan Belanda di Sleman dan dibawa ke Salatiga. 3. Sentot Alibasah Prawirodirjo Sentot adalah keponakan dari Hamengkubuwono IV, yang memiliki dendam terhadap Belanda. Ayahnya, Ronggo Prawirodirjo tewas ketika masa pemerintahan Daendels sehingga ia mendukung ketika Diponegoro mengobarkan pemberontakan. Sentot berhasil diyakinkan untuk menyerah kepada Belanda pada tahun 1829. Ia kemudian dikirim untuk mengalahkan Tuanku Imam Bonjol dalam Perang Padri. Sentot berkhianat dan memasok senjata bagi pemberontak,sehingga ia ditangkap kembali dan diasingkan ke Bengkulu. 4. Jenderal de Kock Jenderal de Kock adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berkuasa pada tahun 1825-1826, bertugas untuk memadamkan api pemberontakan Diponegoro di Jawa. Ia menerapkan kebijakan Benteng Stelsel untuk mengepung pasukan-pasukan Diponegoro dan menangkap pemimpin perang masyarakat Jawa. Ia berganti jabatan menjadi Komandan KNIL sampai dengan tahun 1830, dan berperan besar atas penumpasan pemberontakan Diponegoro. Namanya digunakan atas salah satu benteng di Bukittinggi yang menjadi titik penumpasan pemberontakan Imam Bonjol di Minangkabau. 5. Hendrik Smissaert Hendrik Smissaert adalah Residen Yogyakarta yang ditunjuk oleh gubernur jenderal untuk menangani wilayah tersebut. Ia menjabat hampir bersamaan dengan wafatnya Hamengkubuwono IV yang seharusya digantikan oleh Hamengkubuwono V yang masih berusia dua tahun. Smissaert menduduki tahta selama 31 bulan sebagai pemimpin keraton, hal ini dianggap sebagai penghinaan oleh masyarakat Jawa. Pemasangan patok-patok jalan yang melalui makam leluhur Diponegoro adalah kebijakan dari Smissaert. Kedudukannya sebagai penyebab meletusnya perang Jawa sangatlah besar. Akhir Perang Diponegoro Pangeran Diponegoro yang menyerah pada Maret 1830, ditangkap dan kemudian diasingkan ke Manado lalu dipindahkan ke Makassar. Pasukan-pasukannya yang tidak lagi memiliki pemimpin kehilangan semangat untuk berjuang. Berakhirnya Perang Jawa ini membawa pemimpin-pemimpin di tanah Jawa kehilangan harapan untuk melawan Belanda. Sejak tahun 1832, seluruh raja dan bupati di Jawa menyatakan ketundukannya kepada Belanda kecuali Bupati Ponorogo. Sehingga semakin kukuh kedudukan Belanda di Jawa. Meski begitu perang ini mampu menewaskan serdadu Eropa, yang membuat Belanda semakin kesulitan untuk memenangkan Perang Padri kedua di Minangkabau. Setelah perang berakhir, populasi Yogyakarta menyusut separuhnya. Sementara keturunan Pangeran Diponegoro diusir dari keraton. Artikel Perang Diponegoro Kontributor Noval Aditya, Alumni Sejarah FIB UI

BIOGRAFIGUSDUR. Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 - meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun) adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001.

403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID recD1hse2Ikq6ULt1pUCq3-oOLp2DekmEngeJCeH1wIQzR2E52OVbQ==
PasalII. (1) Segala aturan yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Lama yang disebut dalam pasal I masih tetap berlaku, kecuali aturan-aturan yangsecara tegas dicabut menurut ordonansi ini. (2) Dalam lima tahun sebelum tanggal berlakunya ordonansi ini,maka semua surat izin yang masih terpakai (berlaku) dan telah diberikandahulu, dianggap - Perang Diponegoro merupakan pertempuran besar yang berlangsung selama lima tahun, yakni antara 20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830. Perang ini melibatkan masyarakat pribumi dari berbagai wilayah di Jawa, hingga disebut sebagai Perang Jawa, dengan tentara Belanda. Masyarakat Jawa dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, seorang pangeran Yogyakarta, sedangkan tentara Belanda dipimpin oleh Jenderal de beberapa faktor yang memicu terjadinya Perang Diponegoro. Faktor-faktor tersebut bahkan dibedakan menjadi sebab umum dan sebab khusus. Berikut ini beberapa sebab umum terjadinya Perang Diponegoro. Intervensi Belanda dalam urusan Kesultanan Mataram Memasuki abad ke-19, keadaan di Jawa khususnya di Surakarta dan Yogyakarta semakin juga Sebab Khusus Terjadinya Perang Diponegoro Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan. Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba dan bertindak sebagai penolong. Sesungguhnya, cara licik seperti ini sering diterapkan Belanda untuk dapat mempertahankan kekuasaan dan mengembangkan pengaruhnya. Campur tangan pihak kolonial juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya nusantara.
\n\n\n \n puncak kemarahan diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah
qDpv.
  • 1iufmmdy15.pages.dev/831
  • 1iufmmdy15.pages.dev/942
  • 1iufmmdy15.pages.dev/130
  • 1iufmmdy15.pages.dev/974
  • 1iufmmdy15.pages.dev/182
  • 1iufmmdy15.pages.dev/792
  • 1iufmmdy15.pages.dev/476
  • 1iufmmdy15.pages.dev/408
  • 1iufmmdy15.pages.dev/86
  • 1iufmmdy15.pages.dev/449
  • 1iufmmdy15.pages.dev/526
  • 1iufmmdy15.pages.dev/885
  • 1iufmmdy15.pages.dev/710
  • 1iufmmdy15.pages.dev/91
  • 1iufmmdy15.pages.dev/377
  • puncak kemarahan diponegoro terjadi dan kemudian meletuslah perang setelah